Cara Kerja Intelijen Al-Qaeda

  • Minggu, 19 September 2021
  • 1,233 view
Cara Kerja Intelijen Al-Qaeda Ilustrasi Foto Terrorist membawa senjata

Pada 6 Mei 2011, dokumen rahasia al-Qaeda berjudul “ STRATEGIC GUIDE ON HOW TO ATTACK AMERICA ditemukan oleh pasukan NAVY SEAL 6, Amerika di Abbotabad, Khyber Phatunkwa, Pakistan.

Sebelum penemuan dokumen rahasia itu, 23 pasukan Navy Seal dengan menggunakan dua helikopter Black Hawk turun dan mengepung lokasi persembunyian Usamah bin Laden pada pukul 01.00 dini hari.

Baku tembakpun terjadi. Usamah bin Laden dan puteranya tewas di gua yang selama ini menjadi tempat persembunyian mereka.

Dokumen rahasia bertuliskan tangan itu mengatur dengan detail bagaimana cara operasi al-Qaeda, juga rencana target-target serangan mereka ; mengebom kereta api, pesawat udara, pemboman perusahaan pensuplai air, meracuni air, serangan pada perusahaan tambang, termasuk bagaimana cara mengebom infratruktur-infrastruktur strategis milik Amerika lainnya.

Untuk mewujudkan STRATEGIC GUIDE ON HOW TO ATTACK AMERICA Tulisan ini bermaksud untuk membahas bagaimana cara kerja intelijen al Qaeda sebelum mereka melancarkan serangan-serangan pada Amerika dan kepentingannya di berbagai belahan dunia.

Sebuah buku yang menjadi acuan cara kerja intelijen al-Qaeda ini sudah lama saya kaji dan pelajari. Buku berjudul Mau’suah al-Jihad (Ensiklopedi Jihad), yang disusun oleh al-Imarah al-Islamiyah dan diterbitkan oleh Maktabah al-Khidmat Qiyadah al-Mu’askarat wal Jabhat, 1324 Hijriyah, Afghanistan ini benar-benar memukau saya.

Jilid pertama buku Mausu’ah al-Jihad tersebut bertema “al-Amn wa al-Istikhbarat” (Keamanan dan Kerja Intelijen), setebal 624 halaman. Pada jilid pertama buku ini, pembahasan pertama dimulai dari mendefinisikan makna keamanan. Al Qaeda membuat empat macam kategori dengan landasan al-Quran dan hadis.

Pertama, berlandaskan ayat 260 Qs. al-Baqarah. Ayat ini menceritakan Nabi Ibrahim yang jiwanya belum merasa tenang, sebelum mendapatkan pembuktian empiris dan kasat mata atas kekuasaan Allah. Penekannnya ada pada kehendak Ibrahim yang ingin mendapatkan bukti-bukti nyata, terukur, positifistik.

Kedua, berlandaskan ayat 102 Qs. An Nisa’. Ayat ini menceritakan perintah Tuhan pada umat muslim agar selalu waspada dan mempersiapkan persenjataan, guna mengantisipasi serangan orang-orang kafir. Sebab, orang kafir ini memang berharap agar umat muslim lalai dari persiapan-persiapannya dalam menghadapi peperangan. Tuhan juga menyemangati agar muslim tidak takut akan penderitaan fisik dan tantangan alam.

Ketiga, berdasarkan sabda Rasulullah saw, yang mengatakan: “Kafa bil Mar-I Itsman an yudaddisa bi kulli ma sami’a (seseorang sudah cukup disebut berdosa hanya dengan menceritakan semua yang ia dengar)” [HR. Muslim]. Hadis ini dipahami perintah agar menyembunyikan sebagian apa yang didengar. Menyimpan rahasia. Tidak membongkar semua informasi ke publik awam.

Keempat, berlandaskan ayat 83 Qs. An Nisa’. Ayat ini menopang prinsip ketiga sebelumnya, tentang informasi keamanan ataupun ketakutan (terror) yang tersebar luas. Perintah ayat ini adalah menyerahkan urusan informasi tersebut kepada Rasul dan Ulil Amri (pakar yang mengurusi hal ini, termasuk intelijen yang memang bekerja untuk pengumpulan informasi). Jika tidak begitu, maka publik akan mengikuti setan (h. 13).

Berdasarkan pada empat prinsip di atas, al-Qaeda membangun hipotesis antropologis-sosiologis. Ia mengatakan, kebutuhan manusia akan rasa aman adalah fitra manusia.

Bahkan, pada saat masih hidup di era berburu dan meramu, manusia butuh pada informasi tentang berbagai jenis hewan dan tumbuhan, yang bisa dimanfaatkan untuk bertahan hidup. Tujuannya adalah meminimalisir mudharat/bahaya yang akan ditimbulkan (h. 14).

Pada era modern, kebutuhan informasi untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan berkembang, merambah berbagai dimensi, seperti dimensi politik, ekonomi, militer dan kemasyarakatan (h. 16).

Di bidang politik, tujuan mereka adalah mengetahui kekuatan hakiki yang menopang sebuah negara. Salah satu sumber informasi paling penting adalah urusan diplomasi antar negara. Di bidang militer, mereka ingin mengetahui kekuatan militer sebuah negara, perkembangan persenjataannya, program-program yang dijalankan, sistem keorganisasinnya, orang-orang yang bertanggungjawab.

Di bidang ekonomi, mereka ingin tahu kegiatan ekonomi dan perdagangan, jenis-jenis komoditas ekspor-impornya, persiapan sebuah negara dalam menghadapi perang ekonomi. Di bidang sosial dan psikologi masyarakat, mereka ingin tahu aspek-aspek tersembunyi yang tersimpan pada tujuan-tujuan pribadi orang-orang (h. 85-86).

Namun, menurut al-Qaeda ada etika-etika tertentu yang harus dipatuhi oleh orang-orang yang bekerja sebagai intelijen, yaitu: demi membala bangsa dan khilafah islamiyah; tidak ditujukan mengorek kelemahan umat muslim; hanya ditujukan kepada orang-orang yang memerangi Islam; demi mencari ridha Allah dan sesuai dengan ajaran Islam (h. 18). Secara aksiologis, nilai penting kerja intelijen ini antara adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup dalam berperang; sebagai salah satu faktor memperkuat pertahanan; memperkuat ikatan komunitas; sumber utama membangun kesadaran dan kewaspadaan bersama; dan menjaga diri dari ancaman (h. 24). Seiring perkembangan waktu, teknologi tinggi dianggap membantu kerja intelijen. Namun, dalam buku Mawsu’ah al-Jihad ini, al-Qaeda masih menganggap peran penting manusia. Sedangkan teknologi hanya alat yang dapat membantu kerja manusia (h. 28).

Mengingat intelijen merupakan pekerjaan yang penting bagi keamanan bangsa dan negara, al-Qaeda juga menerapkan hukuman bagi orang-orang yang berkhianat.

Hukuman itu adalah dengan diserahkan kepada imam atau pemimpin untuk ditentukan, dan boleh untuk dibunuh bila memenuhi syarat tertentu (h. 29). Dalam situasi perang, etika dan moral bisa dilanggar oleh manusia. Misalnya berdusta (al-kadzbu). Berdusta diperbolehkan, baik dilakukan perorangan maupun berjamaah, karena menyangkut keselamatan nyawa para intel (h. 36).

Para intel diperbolehkan menggunakan senjata mereka apabila memenuhi beberapa prasyarat dan kondisi. Pertama, ketika mereka kepergok dan bertemu dengan orang-orang dari pihak musuh yang juga bekerja sebagai intel. Kedua, bertemu dengan intel musuh di tempat-tempat yang sudah direncakan dan ditugaskan. Ketiga, untuk menjaga keselamatan diri, di manapun dan kapan pun (h. 42-43). Selain penggunaan senjata, teror (irhab) dan destruksi (takhrib) juga diperbolehkan. Ada tiga macam teror dan dustruksi; penghancuran sumber ekonomi langsung (takhrib iqtishodi), penghancuran secara halus (takhrib salbi), dan teror mental (takhrib nafsi) (h. 45).

Yang paling parah dari prinsip al-Qaeda adalah kebolehan melakukan perlawanan hukum (muqowamah al-ta-amur wa al-tamarrud), dengan tujuan melawan hukum dan mengubahnya, ataupun memengaruhi orang-orang yang otoritatif mengendalikan hukum. Hal itu bisa dilakukan dengan mengerahkan kekuatan militer (askariyan) ataupun pemberontakan publik (‘ishyanan madaniyan). Bisa juga dengan menggerakkan massa dari dalam maupun melibatkan kepentingan asing. Beberapa kegiatan destruktif (nasysyath haddam) yang dianjurkan antara lain; menciptakan keraguan atas keabsahan ideologi negara, atau membangun ideologi yang berlawanan dengan ideologi negara (h. 46-47).

Dalam buku panduan intelijen al-Qaeda juga dijelaskan ada tiga tahapan untuk melakukan pemberontakan; pertama, melakukan perang pemikiran (ghazwul ‘aql) tanpa kenal ampun, kedua, mengeksploitasi masalah-masalah sosial dalam negeri, dan ketiga, menggerakkan massa secara massif. Bagi Al-Qaedah, semua itu akan berjalan lancar apabila perang data dan informasi dimenangkan. Argumentasi adalah alat paling efektif dan efisien, dan untuk tujuan itulah kerja intelijen sangat urgen. Keberadaan kantor dan markaz (maktab) untuk intel juga merupakan prasarana yang penting (h. 47-49).

Dalam rangka mengumpulkan informasi yang dibutuhkan, para intel diperbolehkan melakukan penyiksaan (ta’dzib), baik penyiksaan fisik maupun mental. Sebaliknya, bila para intel kita ditangkap oleh musuh, ada beberapa langkah yang harus dilakukan: tidak bisa dan tidak mengaku; mempersingkat komentar; menunjukkan sikap yang bertentangan dengan tuduhan musuh. jika bukti yang ada terlalu kuat dan tidak mungkin diingkari, maka harus menciptakan narasi lain yang bisa mengubah persoalan; boleh berpura-pura lupa ingatan, bahkan berpura-pura gila dan rusak mental. Peran perempuan dalam kerja intelijen sangat penting, karena publik jarang melihat perempuan terlibat dalam hal ini (h. 56-62).

Alhasil, penulis ingin sampaikan bahwa al-Qaeda bukan sekedar organisasi tradisional, melainkan organisasi modern yang membangun taktik dan strategi intelijen mereka di atas kutipan-kutipan ayat dan hadits yang ditafsirkan versi mereka. Melalui buku “Mausu’ah al-Jihad” ini, kita tahu bahwa al- Qaeda dikelola dengan manajemen modern, strategis, serta menerapkan pola kerja intelijen yang lazim diterapkan oleh sebuah negara modern dan berdaulat.*

Penulis: Mujahidin Nur

Mujahidin Nur adalah CEO PT Bumi Semesta Media dan Melvana Media Indonesia, direktur The Islah Centre, Anggota INFOKOM MUI, sekarang berdomisili di Jakarta